#SatuTahunyangLalu
#CuplikanNovelMenembusBatasku
(Pengalaman Seleksi SM-3T)
12 Juli 2015
Harus Bahagia atau tak Bahagia?
Sehabis
berbuka puasa dengan segelas Goodday
Chocochino dan beberapa potong pisang goreng buatan sendiri, aku membuka
laptop kesayanganku untuk melakukan apa yang selama ini ada di anganku ketika
hari ini tiba. Hari ini adalah pengumuman seleksi wawancara program SM-3T yang
merupakan seleksi tahap akhir setelah sebelumnya ada seleksi administrasi dan
seleksi tes akademik secara online. Terkait dengan apa yang ada di anganku
tadi, aku berangan-angan ingin menulis tentang apa saja yang aku alami dalam
program ini andai aku lulus seleksi. Karena aku dinyatakan lulus, maka aku
mulai menulis catatan-catatan ini, mulai dari hari ini.
Lagu
dari supercell yang berjudul The Bravery mengalun dari laptopku
mengiringi tulisanku. Benar, aku adalah penggemar band-band Jepang dan segala
yang berhubungan dengan Jepang tetapi memilih jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia sebagai tempatku menimba ilmu di bangku kuliah. Memang hidupku sudah
penuh salah jurusan, termasuk pilihanku kali ini. Masa-masa kuliahku dipenuhi
dengan bermain musik serta mencipta lagu dengan beberapa band dengan genre yang berbeda-beda. Kemudian
setelah beberapa tahun berkecimpung sebagai rocker,
aku mendaftar dalam sebuah program mengajar sebagai guru. Tapi kurasa aku sudah
mulai terbiasa dengan salah jurusan ini.
SM-3T
adalah program pemerintah untuk para sarjana muda yang ingin mengabdikan
dirinya di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Program ini sudah ada
beberapa tahun lalu dan semasa kuliah pikiranku tentang program ini adalah,
“Ini adalah program untuk orang yang berhati mulia, yang benar-benar perduli
dengan bangsanya. Jadi, mana mungkin aku ikut?” Tahun lalu ada beberapa temanku
yang juga ikut program ini, di benakku mereka adalah orang-orang hebat dan aku
tak pernah berpikir sedikitpun untuk mengikuti jejak mereka.
Kreasi Tulisan SM-3T oleh Peserta Prakondisi SM-3T UNNES Angkatan V
Hingga
hari menjelang kelulusan tiba, kembali aku melihat baliho besar berisi
pendaftaran SM-3T ketika berjalan-jalan dan mencari jajanan di simpang tujuh
UNNES dekat embung, tempat mahasiswa UNNES memadu kasih. Ketika itu aku bersama
adikku dan aku melontarkan sebuah pertanyaan iseng, “Tuh, ikutan buat ngajar di
pedalaman, prodimu ada, lho! Kalau aku, mah,
nggak akan mungkin ikut begituan.” Pertanyaan super iseng,
padahal adikku masih semester awal dan aku juga tak berminat mengikutinya. Akhirnya
kutinggalkan baliho itu sambil menenteng jajanan untuk dimakan di kos.
Hari
terus berganti, kehidupanku sebagai pengangguran teladan berjalan sangat mulus.
Tiap hari menonton anime (kartun
animasi dari Jepang), film, drama, maupun live
konser band-band favorit. Aku juga sudah berhenti dari band, karena kupikir
pencapaianku hanya segini saja, artinya tidak bisa go nasional bahkan go
international. Ketika telah sampai pada realita, bahwa aku tak bisa mencari
uang hanya dari musik, aku berhenti main band dan mulai memikirkan pekerjaan
lain. Aku sudah mencari berbagai lowongan, tetapi sebagai calon sarjana
pendidikan, sangat jarang yang menerimanya kecuali sebagai guru tentunya. Pencarian
terus berlanjut, sambil menemani adikku yang masih aktif kuliah, sambil
menunggu kelulusan, aku melakukan rutinitas yang menurutku menyenangkan itu,
menonton apa yang bisa ditonton melalui laptop, hingga berubah dari
menyenangkan menjadi membosankan.
Aku tidak bisa terus seperti ini.
Tahap
Awal – Seleksi Administrasi
Begitulah. Akhirnya aku teringat
tentang baliho dan iseng membuka situs pendaftaran SM-3T. Kemudian aku membaca
info yang tertera sambil mengunduh anime,
lalu aku malah keterusan mengunduh anime. Hari berganti dan kulihat
pendaftaran SM-3T hampir ditutup, terlintas di benakku, “Nggak ada salahnya, kan, mendaftar? Paling juga nggak keterima.” Kuingat waktu itu sekitar pukul satu pagi, saat para downloader memaksimalkan kuota malam,
aku terbangun sejenak dari tidurku dan mau melanjutkan rutinitas mengunduh anime. Iseng kubuka situs pendaftaran
SM-3T, kemudian aku mulai mengisi biodata diri. Hingga disuruh mengunggah foto
dengan background biru. Kusuruh
adikku mengedit, karena tidak selesai, kuedit sendiri foto itu dengan bantuan google, “Cara mengubah latar belakang
foto.” Foto beres. Tapi apalagi ini? Upload
ijazah? Aku ‘kan belum wisuda? Ah! SKL. Kebetulan aku sudah mengurus SKL, jadi
masalah ini teratasi. Lalu, apalagi ini, transkrip nilai! Ah! Di SBVT kan ada
daftar nilainya, mungkin bisa dipakai. Aku pun melengkapi kolom isian dengan menggampangkan. Dalam hatiku, “Ah,
paling juga nggak lulus.”
Hari
wisuda pun tiba. Kini aku sudah resmi menjadi pengangguran setelah sebelumnya
menjadi pengangguran terselubung. Tak enak rasanya, kalau bertemu orang sudah
tak ada alasan lagi tentang, “Apa yang sedang kamu lakukan?” Kalau sebelumnya
aku masih bisa berkilah, “Menunggu wisuda.” Aku mulai ditawari pekerjaan oleh
orangtuaku, tapi aku bersikeras ingin mencari sendiri.
Hingga di hari pengumuman seleksi
tahap administrasi SM-3T tiba. Aku menunggu adikku yang sedang kuliah, sambil hotspot-an, ditemani nyamuk-nyamuk nakal
yang dengan senang hati mencumbu diri karena saat itu magrib dan gelap di
kampus. Adikku tiba dan saat itu pula aku membuka pengumuman. Tanpa kuduga aku
lolos tahap ini, padahal aku mengisi data dengan seadanya, artinya tanpa ijazah
dan transkrip nilai. Dalam benakku, “Apa yang harus kulakukan?” Atau dalam
bahasa Jawa keren-nya, “Terus aku kudu piye?”
Tahap
Tes Akademik
Tahap kedua adalah tes seleksi
akademik secara online. Pada tahap
ini, aku harus melengkapi berkas seperti fotokopi ijazah dan transkrip nilai
yang sudah dilegalisasi. Aku mengurusnya di kampus dan secara kebetulan bertemu
dengan rekan sebandku, Yusuf, bersama dengan dua teman serombelnya, Prisma dan
Wawan. Ternyata Prisma dan Wawan juga mengikuti seleksi SM-3T. Aku bersyukur
ada teman yang aku kenal dalam seleksi ini.
Dalam tes akademik, ada beberapa
macam tes, diantaranya tes potensi akademik, tes kemampuan dasar, dan tes
materi prodi. Aku belajar hanya untuk tes yang terakhir, karena banyak materi
kuliah yang aku lupa. Aku berusaha untuk serius, karena bila telah mencapai
tahap ini, tidak ada alasan bagiku untuk setengah hati mengikuti seleksi ini.
Aku mendengar kabar kalau banyak peserta yang tidak lolos tahap awal, termasuk
orang yang aku hormati, temanku semasa KKN, Agus. Dia kupandang sebagai orang
yang sangat cocok untuk program ini. Ia lihai dalam memimpin selama KKN dulu
serta memiliki semangat yang tinggi. Kalau aku tak serius mengikuti tes ini,
aku akan menyakiti hati orang-orang seperti dia. Oleh karena itu, aku berusaha
mencari alasan untukku mengikuti program ini, aku berusaha mencari niat, agar
tak ada istilah setengah hati.
Aku
masih muda, kurasa hidupku hanya seperti ini saja. Aku harus berpetualang.
Dunia ini luas!
Itu alasan pertamaku. Membayangkan
diriku menjelajahi pelosok Indonesia. Sebelum ini aku bahkan tak berniat
seperti itu, tak sedikit pun. Tetapi ketika aku telah memasuki tahap ini,
kurasa inilah waktunya! Di program ini aku bisa jalan-jalan gratis, bahkan di
bayar, untuk menelusuri tempat-tempat indah di Indonesia yang belum banyak
terjamah tangan kotor manusia. Mungkin ini adalah kesempatanku berjalan-jalan
di negeri sendiri, sebelum selanjutnya jalan-jalan ke luar negeri, seperti ke
Jepang. Itu destinasi selanjutnya!
Aku
muak dengan negara ini. Aku harus berbuat sesuatu untuk merubah negara yang
sudah busuk ini, walau hanya hal kecil.
Kerjaanku hanya mengeluh selama
ini. Protes dengan keadaan bangsa dengan banyaknya koruptor, kemiskinan,
kemerosotan moral, dan masalah kompleks lain. Pada suatu titik, aku merenung,
apa yang sudah kulakukan? Apa aku hanya bisa mengeluh? Tidak! Aku masih muda,
aku masih bisa mengubah negeri ini. Karena aku adalah sarjana pendidikan, lewat
jalan inilah aku bisa membangun negeriku, mengajar. Dengan program SM-3T, pemerataan
pendidikan bisa diatasi.
Dua alasan utama itulah yang
mendorongku untuk menyelesaikan proses seleksi ini dengan serius. Aku
melaksanakan tes online di kampus
adikku, gedung D-10, lab matematika, UNNES. Sudah kuduga kalau aku dipanggil
masuk terakhir karena aku mendaftar di hari-hari terakhir sebelum penutupan.
Tes potensi akademik sangat
menyenangkan! Soal-soalnya seperti teka-teki, seperti pada soal mencari pola
pada urutan bilangan. Ini mengingatkanku pada beberapa serial detektif. Tapi
aku keasyikan mengerjakan soal hingga tak sadar kehabisan waktu. Tak apalah,
hanya sedikit pertanyaan yang terlewat. Tes kemampuan dasar cukup bisa
kukerjakan karena aku sudah terbiasa mengerjakan soal bahasa Inggris, aku dulu
jagoan bahasa Inggris di SMA, tetapi lagi-lagi aku salah jurusan dan masuk pada
prodi bahasa Indonesia. Tes prodi juga bisa kulahap habis walau beberapa nomor
aku kurang yakin menjawab dengan benar.
Pengumuman pun tiba. Aku masih
berpikiran, “Apa yang harus kulakukan kalau aku lolos?” Masih, “Nek aku lolos, aku kudu piye?” Sekitar
pukul satu, lagi, aku buka lewat HP dan, lolos. Aku kembali berpikiran, “Aku kudu piye?” Lalu aku meyakinkan
diriku, “Mungkin ini memang jalanku.”
Tes
Wawancara
Hari pertama tes wawancara tiba.
Aku melihat banyak orang dari berbagai daerah. Orang yang pertama kutemui
berasal dari Malang. “Niat juga orang ini,” kataku dalam hati. Dibandingkan
denganku, aku memang beasal dari UNNES, sehingga karena tes wawancara ini
diadakan di UNNES, aku tak terlalu pusing untuk mencari penginapan dan sebagainya
karena sewa kosku masih. Hari pertama dilalui dengan pengarahan bagaimana tes dilaksanakan,
yaitu satu penguji menguji 8-10 calon. Hari itu juga diputarkan film tentang
SM-3T angkatan pertama, bagaimana mereka menjalani hidup dari sulitnya medan,
hingga sekolah yang tak dibangun dengan layak. Selain itu ada berbagai masalah
lain, misalnya sulitnya komunikasi lewat ponsel karena sinyal sulit didapat,
ada juga siswa yang harus dijemput untuk sampai ke sekolah, hingga ada beberapa
peserta yang gugur dalam menjalankan tugasnya karena terseret arus sungai saat
hendak mengajar.
Di sinilah ujian sebenarnya
menurutku. Ketika kita takut dengan situasi seperti itu, maka kita pasti tak
akan mengikuti wawancara hari kedua. Aku pribadi, walau ada perasaan sedikit
takut, tetapi aku banyak tertantang. Aku ingin menaklukkan setahun di tempat
pengabdian dengan tanpa cela. Kematian yang ditayangkan juga merupakan
kecelakaan saja, menurutku, sedangkan kecelakaan bisa terjadi di mana saja,
bukan hanya di situ. Aku salut dengan beliau yang gugur, ia mati syahid dalam perjuangan mencerdaskan
anak bangsa.
Hari kedua, aku bertemu banyak
teman sejurusan, diantaranya Wawan dan Prisma yang dulu kutemui saat mengurus
persyaratan, kemudian ada juga teman seangkatan lain seperti Yana dan Dina.
Beberapa kakak kelas juga ada, bahkan adik kelas juga ada beberapa, diantaranya
Nuryeni yang duduk di dekatku saat wisuda lalu. Ada juga teman semasa SMA
seperti A’an dan Heri BS.
Kami berbincang sejenak sambil
menunggu sesi kami, sesi 2. Beberapa teman menyiapkan dokumen. Bagian ini juga
butuh perjuangan, sih. Banyak dokumen
seperti surat keterangan bebas narkoba yang harus diurus di puskesmas, bayar 55
ribu rupiah. Kemudian Surat keterangan sehat yang juga diurus di puskesmas,
bayar 5 ribu. SKCK, total mungkin ada 50 ribu karena aku membuat 2 jenis,
polres dan polsek, padahal yang diperlukan hanya satu, yaitu polres.
Surat-surat pernyataan lain yang diberi materai juga harus disiapkan.
Pada pelaksanaan wawancara, aku
menjawab sebisanya, beberapa pertanyaan berkaitan dengan permasalahan yang ada
pada film di hari pertama dan bagaimana mengatasinya. Ada juga pertanyaan
mengenai prestasi. Aku menemukan perhatian dari penguji ketika aku menceritakan
tentang karirku sebagai penulis yang menulis beberapa karya, walau kurang
begitu laris dalam hal penjualan. Beliau bertanya tentang bagaimana karir
menulisku kalau aku diterima, aku justru berkata kalau ini sekaligus sebagai
survei lapangan, pengalamanku selama mengabdi di pedalaman bisa kubuat menjadi
karya baru, dengan nafas baru tentunya.
Pengumuman hasil tes wawancara maju
sehari, dari tanggal 13 Juli menjadi hari ini, 12 Juli. Aku sempat berdebar
melihat hasil dari tes ini, walau tak tahu harus bahagia atau tidak setelah
melihat pengumuman. Di rumah aku mendapatkan sinyal yang jelek, sehingga ketika
membuka pengumuman selalu gagal. Kemudian kebetulan hari ini aku bersama ayah
dan adik berjalan-jalan mencari baju baru untuk lebaran di kecamatan seberang.
Di sana aku mendapat sinyal yang bagus dan kubuka pengumuman itu. Aku bernafas
lega ketika mendapati tulisan lolos,
walau masih sedikit perasaan, “Aku kudu
piye?” Walau masih sedikit gamang, “Apakah aku harus bahagia atau tak
bahagia?”
Aku
memberi saran pada diriku sendiri, seperti saran yang telah lalu untuk
kejadian-kejadian lalu, “Jalani saja….”
Aku pun menyiapkan berbagai hal
untuk prakondisi bulan depan, 2 – 17 Agustus 2015. Persiapan fisik, mental, dan
materi. Semoga ceritaku selanjutnya masih panjang dan asyik, tak hanya asyik di
awal. Amin….

0 komentar:
Posting Komentar