Who
Am I?
(Image Source: http://65.media.tumblr.com/cf578a9fd43c3662c309021a2dbf0bfa/tumblr_ntpj1uaJHu1tbn8ygo1_1280.jpg)
Saat ini aku sedang mendengarkan album kompilasi Unpretty Rapstar 2. Album ini berisi
beberapa lagu dari kompetisi para rapper wanita di Korea sana. Para rapper,
baik dari idol sampai underground rapper saling berkompetisi
memperebutkan lagu yang menjadi pengisi album ini. Aku sudah mengikuti reality show ini dari season pertama sampai tahun ini
menginjak season ketiga.
Ji Yeon (4minute), salah satu kontestan Unpretty Rapstar 2 yang
penampilan awalnya sangat lemah, namun selalu meningkat di
tiap episode.
(Image Source: https://i.ytimg.com/vi/gFKOv3g6XIU/maxresdefault.jpg)
Satu hal yang menarik, saat putaran final, peserta
diberi misi untuk membawakan lagu mereka sendiri dengan tema Who Am I. Menurutku justru lagu-lagu di
putaran final ini lebih bagus daripada lagu-lagu yang menjadi track di album kompilasinya. Para rapper
mengeksplorasi lirik yang dipadukan dengan musik dengan gaya mereka masing-masing.
Hasil dari pencarian jati diri mereka dijadikan satu lagu yang cukup mendalam.
Lagu favoritku adalah dari Ji Yeon (4minute) berjudul This ain’t me dan lagu dari Moon
Sua yang berjudul Who Am I?
Tentu saja tak hanya para artis atau pekerja seni
yang perlu mendalami dirinya sendiri. Para rapper di atas membuat lagu yang
indah dan mendalam karena pencarian jati dirinya, begitu juga dengan kehidupan
kita, dengan mencari tahu jati diri kita, kita dapat berkarya dengan lebih baik
karena telah mengetahui jawaban dari berbagai pertanyaan seperti untuk apa aku dilahirkan, untuk apa aku
hidup, demi siapa aku berjuang, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Karena
Orang Lain Begini, Aku Juga Begini
Ada satu perasaan unik yang kita rasakan ketika
membuka jejaring sosial. Selain kita senang dapat mengetahui bagaimana keadaan
teman-teman kita, ada juga perasaan yang membuat kita tergelitik dengan
perkataan kapan aku bisa seperti mereka?
Ketika melihat orang lain memposting foto-foto pernikahan mereka, kita langsung
tergelitik aku harus cepat-cepat menikah.
Ketika melihat teman kita memposting pokemon langka hasil tangkapan mereka,
kita langsung tergelitik aku harus punya
pokemon yang seperti mereka punyai. Ketika teman kita memposting prestasi
di tempat kerja mereka, kita tergelitik kapan
aku bisa seperti dia?
Njih Mbah.... Syarate nikah pancen ngoten.... Haha....
(Image Source: http://1.bp.blogspot.com/-Bk1iKsuMTjI/UxCtzyUq4BI/AAAAAAAAAfo/6n_tlc2z9Rs/w426-h568/14+-+1)
Sebenarnya ada hal positif di balik rasa tergelitik
itu, kita jadi termotivasi. Namun, apa memang kita harus seperti mereka? Mereka
menikah dan memposting hari bahagia mereka karena mereka telah menemukan
belahan hati mereka dan merasa siap baik dari segi lahir maupun batin. Kalau
kita belum merasa yakin dengan orang yang ada di samping kita, atau kita masih
menyandang status pengangguran berprestasi,
apakah kita akan memaksakan diri menikah di kondisi kita saat ini? Lagipula,
ada tipe orang yang ingin bebas melakukan sesuatu, ingin menggapai mimpi dulu,
atau banyak alasan lain yang membuatnya menunda pernikahan.
Kalau memang bukan pecinta anime atau game, apa kita
akan main game Pokemon Go hanya
karena sedang tren saat ini? Bertindak seolah-olah tahu tentang pokemon hanya
karena sesuatu yang sedang hot saat
ini.
Kalau ada yang terjun ke jurang, kita akan ikut ke
jurang?
Tokoh
yang ada di dalam Diri Kita
Dari kecil, kita sudah disuguhi banyak tokoh yang
mempengaruhi diri kita. Mulai dari orang terdekat yang membesarkan kita, ayah
dan ibu. Kemudian orang terdekat lain seperti kakak dan sahabat. Selain itu,
tokoh kartun favorit kita juga turut mempengaruhi diri kita. Pernah kan kalian
membayangkan diri kalian sebagai salah satu tokoh kartun favorit. Misalnya
penggemar sepak bola ingin seperti Tsubasa Ozora, gitaris ingin seperti Tanaka
Yukio di kartun Beck.
Kupu kupu kupu.... Hayo, masih ingat lagunya, haha....
(Image Source: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0XNxhVTk6Rr68k8Jxmngw4UPzZkLjVe6qz2PDAODtBnu5ZdzpAD1vmr5noTz3IuNYLEPtMBOfAe0VmgSnzjhlRGhksK3mUxzIQRaNrHFqTYHp1HMZITaNnLxf0YZsQ-6TsVIEZKXr7Uc/s1600/Saizen__Shinsen-Subs_Captain_Tsubasa_Road_to_2002_-_31_DVD-2C7D336D.mkv_snapshot_15.14_2011.07.17_20.04.18.png)
Menginjak bangku sekolah, kita disuguhi banyak
karakter guru. Masuk ke dunia sastra, banyak tokoh di novel. Begitu juga di
dunia hiburan, banyak idola dari luar dan dalam negeri yang kita gandrungi.
Dengan banyaknya tokoh yang mempengaruhi diri kita, sedikit demi sediki mereka
menjadi pecahan karakter dalam diri kita. Berapa persen dirimu yang seperti
ayahmu, berapa persen sifat ayahmu yang ada dalam dirimu, berapa persen guru
favoritmu yang mempengaruhi tindakanmu, berapa persen tokoh anime menjadi tolok
ukur pemikiranmu, apakah kau meneladani sifat salah satu nabi dalam ajaran
agamamu?
Kemudian tanyakan lagi pada dirimu, ketika kau
berkelakuan seperti mereka, apakah itu dirimu sendiri?
Apa
yang Sedang Kulakukan?
Penentuan jati diri memberikan kita pilihan, karena
dunia memberi kita banyak pilihan. Sejak SMA, kita disuruh untuk memilih
jurusan. Begitu juga saat kuliah. Kita juga memilih pekerjaan setelah lulus
dari kuliah. Apakah pilihan itu selalu tepat dan merepresentasikan diri kita?
Belum tentu.
Ada siswa yang ingin masuk ke jurusan IPA, namun
karena nilainya dalam bidang IPA kurang, ia akhirnya masuk ke jurusan IPS. Ada
seseorang yang sangat menyukai musik, namun ia kuliah dan mendalami sastra. Ada
orang yang menekuni bidang seni lukis, namun ia berakhir menjadi seorang
penjaga toko. Itulah masalahnya, hidup tak selalu seperti yang kita inginkan.
Tak selalu hal yang menjadi kesukaan kita menjadi pilihan hidup kita juga.
Kalau ngga' bisa menjalani yang kamu sukai,
sukai aja yang kamu jalani.
Teorinya sih, haha....
(Image Source: https://pics.onsizzle.com/salah-jurusan-belum-tentu-salah-masa-de-pan-lucu-1367047.png)
Namun ada juga orang yang dengan bijak membagi
urusan pekerjaan dan kesenangan, jadi ia tak harus bekerja di bidang yang ia
sukai, namun ia meluangkan waktu untuk melakukan hal yang ia sukai. Masalah
selanjutnya adalah tak semua orang bijak membagi urusan itu, atau paling tidak
mereka tak memiliki waktu untuk itu.
Jadi masihkan kau berpikiran kalau seorang yang
duduk tenang di belakang meja reparasi komputer pasti menyukai komputer?
Siapa
Aku?
Jawabannya kompleks. Kau tak bisa menuliskan siapa
dirimu hanya dalam satu halaman HVS, atau jika kau hanya menulis kurang dari
itu, itu artinya kau belum mengenal dirimu secara mendalam. Bayangkan saja
ketika kau melakukan sesi perkenalan di kelas, namun pasti tak banyak yang kau
utarakan karena khawatir akan pandangan orang lain. Misalkan, beranikah kau
melakukan sesi perkenalan dengan berkata perkenalkan
aku xxx, umur xxx, aku berasal dari keluarga yang sangat miskin karena para
koruptor yang mengambil uang kami, karena itu aku tidak ingin hidup lama, aku
ingin semua ini hancur saja karena hidupku sudah hancur, kalau semua hancur aku
dan koruptor bisa sama-sama hancur.
Bukankah nanti kau akan mendapat sorotan tajam dari
teman-teman sekelasmu? Karena itu, banyak dari kita hanya berakting di depan
orang lain agar dianggap normal. Apakah itu adalah diri kita ketika kita
berakting? Atau karena dunia ini panggung sandiwara jadi kita diharuskan
berakting? Penulis takjub banyak orang yang secara alami jenius dalam berakting
dalam dunia atau panggung sandiwara ini, bahkan penulis yang mempelajari seni
akting dalam satu semester saja masih kaku dalam berakting.
Apa ngga' lelah akting terus?
(Image Source: http://ehloo.com/wp-content/uploads/2015/12/Ekspresi-Kucing-Lucu-537x360.jpg)
Kembali ke pertanyaan siapa aku, tak ada yang bisa menjawab kecuali dirimu sendiri.
Tanyakan pada hatimu yang terdalam siapakah kau sebenarnya.
Kemudian ketika pertanyaan lain muncul, apakah aku harus menjadi diriku yang
sebenarnya atau berakting ketika bersama orang lain, itu terserah para
pembaca semua.





0 komentar:
Posting Komentar