Rute Infinity
~ Part III ~
Februari
2017, tulisan bersambung Rute Infinity
dimulai. Berkisah tentang jalan yang saya lalui ketika bertahan hidup di
perbatasan dengan segala keterbatasannya. NTT memberi pengalaman tentang hidup
yang keras dan panas, yang tetap saja bisa dijalani asal mau bersabar dan
berjuang. Desember 2017, tulisan
berlanjut ke bagian dua, tentang dinginnya Bandung beserta berjuta kisah yang
sekarang hanya bisa dikenang.
Jeda
ke tulisan ketiga agak lama karena beberapa hal yang mungkin hanya saya jadikan
alasan saja. Pertama, sepulang dari Bandung, saya resmi menjadi pengangguran
dan memulai siklus melamar pekerjaan – ditolak – melamar lagi – ditolak lagi,
dan seterusnya. Kedua, kehilangan orang yang paling kusayang adalah salah satu
fase yang harus kujalani dengan pura-pura kuat.
Cukup
dengan alasannya, dan kini saya akan melanjutkan blog yang tak tentu kapan
tulisannya akan keluar ini. Di awal rute ini, saya akan membuat sebuah
pengakuan. Ya, saya bukan orang yang berhasil dalam menggapai mimpi saya. Saya
mengakui kepengecutan saya dan kini saya bekerja sebagai orang yang ada dalam
rutinitas.
Di
rute kali ini, saya bukanlah mobil yang melaju untuk sampai ke tujuannya. Saya
adalah jalan. Saya adalah jembatan. Walau mimpi saya tak tergapai, tetapi saya
kini memiliki banyak orang yang masih memiliki banyak kesempatan untuk
menggapai mimpinya. Walau saya tak bisa memberanikan diri saya menyebut diri
saya penulis, tetapi saya akan menjadi jalan bagi penulis-penulis di masa
depan. Saya orang yang pernah bermimpi terlalu tinggi, jadi saya akan menjadi
jembatan bagi para pemimpi menghilangkan status pemimpi mereka. Ya, mereka adalah siswa-siswi saya. Guru adalah
pekerjaan tetap saya.
Di
sela rutinitas, saya masih tetap membuat karya, tak muluk-muluk lagi ingin
menjadi ini-itu, saya hanya ingin menyalurkan apa yang saya bisa di media.
Minimal saya bisa mengenang apa yang saya lalui dan saya jelajahi melalui
imaji. Di mana?
Rutinitas adalah rute yang berputar.
Apakah saya yang terbiasa berpetualang bisa bertahan walau ini tak sebentar?
0 komentar:
Posting Komentar