Tiap Hari Lihat Luar Negeri
Sedikit Catatan Tentang Haekesak
Sudah beberapa
hari setelah penarikan SM-3T Jilid V UNNES di Kabupaten Belu dan semuanya menyisakan kenangan yang tak terlupakan. Sebenarnya kalau cerita secara lengkap tentang pengalaman mengabdi di
perbatasan ini sudah jadi satu novel, namun karena tidak mungkin share satu novel penuh di blog, saya
ceritakan saja sepenggal kisah di tempat pengabdianku yang bernama Haekesak.
Mungkin bagi yang bukan orang NTT akan sulit mengeja nama tempat pengabdianku
itu. Haekesak sebenarnya adalah nama daerah di desa Tohe, kecamatan Raihat,
kabupaten Belu, NTT. Orang Atambua biasanya tidak tahu Tohe atau Raihat, mereka
malah tahunya Haekesak.
Baik,
untuk mengawali tulisan ini, biasanya seorang guru akan ditanya, “Ke sekolah
naik apa?” Kalau ditanya begitu, aku akan menjawab, “Naik pesawat!” Hehe…. Benar,
tahun lalu saya dari Semarang ke NTT naik pesawat, tidak tanggung-tanggung,
saya naik langsung 3 kali, Semarang – Jakarta, Jakarta – Kupang, dan Kupang –
Atambua.
Perjalanan Kupang – Atambua
Sesampainya
di Atambua, langsung ada penyambutan dari dinas PPO kabupaten Belu. Ada tarian
selamat datang dari siswa dan juga kami diberi tais atau kain adat Belu yang dikalungkan langsung oleh Bupati Belu
kala itu. Tentu saja kondisi badan yang masih lelah setelah perjalanan jauh
menyebabkan saya seperti memasuki dunia mimpi. Di hari itu juga, dibacakan
penempatan SM-3T di kabupaten Belu. Setelah pembacaan penempatan, aku langsung
dihampiri oleh dua orang guru SMKN Raihat, Pak John Seran dan Pak Yunus. Saat
itu juga aku dituntun menaiki mikrolet yang disewakan untukku yang membawa 2
tas besar.
Aku
sempat merasa syok karena berada di
tempat baru, dengan orang-orang yang secara fisik jelas berbeda denganku.
Banyak dari mereka yang berkulit hitam dan berambut keriting. Namun itu hanya
saat aku pertama datang saja, setelah dikenal lebih jauh, mereka sangat ramah,
bahkan pada pendatang sepertiku. Bahasa yang digunakan oleh Pak Yunus dan Pak
On, sopir mikrolet, pun aku tak mengetahuinya. Mereka menggunakan bahasa Tetun
yang kala itu belum aku mengerti sama sekali. Melihatku kebingungan, Pak Yunus
membuka percakapan denganku. Aku masih ingat kata-kata pertama beliau saat
menjemputku dulu, “Pak Bayu lihat sungai dan gunung-gunung di sebelah sana? Itu
su bukan Indonesia lagi, su luar negeri.”
Perjalanan Atambua – Haekesak
Benar,
kecamatan Raihat berbatasan langsung dengan luar negeri, tepatnya negara Timor
Leste. Namun tak seperti di batas Mota’ain yang ada gapura dan monumen
perbatasan, batas di kecamatan Raihat hanya sebuah sungai yang ketika musim
kemarau bisa surut. Tentu saja banyak pos perbatasan di daerah ini.
Waktu
di Atambua, aku sempat senang karena sinyal Telkomsel penuh dan masih ada
sinyal IM3. Sampai di Haekesak, sinyal itu berubah menjadi Telkomcel. Waktu
awal-awal, aku PD saja menggunakan sinyal itu, pikirku, “Mungkin saja itu typo.” Aku bisa telpon dengan keluarga
dan membuka facebook. Namun itu tak
lama, tidak ada satu hari, pulsaku langsung hampir habis. Ada apa ini? Usut
punya usut, aku baru tahu setelah Ibu Fat yang satu rumah denganku kala itu
mengatakan bahwa itu adalah jaringan milik Timor Leste, itu juga bukan sinyal
Telkomsel, itu Telkomcel. Tentu saja kalau aku memakai jaringan ini akan
terjadi roaming dan memakan banyak pulsa.
Setelah
itu aku diajari untuk menyetel manual sinyal. Bicara masalah sinyal, di
Haekesak sinyal hanya ada Telkomsel untuk provider Indonesia, itu saja harus
menjajal keberuntungan. Sinyal Telkomsel sering hilang, bahkan parahnya aku
beberapa kali mengalami hilang sinyal selama seminggu lebih. Untuk sinyal
internet, jangan harap ada di sini, kecuali mau menggunakan provider milik luar
negeri. Alhasil, selama setahun, aku hanya mengakses internet ketika berkunjung
ke Atambua,
Cari Sinyal di Tengah Lapangan
Kalau
mengalami sinyal hilang lebih dari seminggu, jalan satu-satunya adalah berjalan
kaki selama setengah jam lebih untuk pergi ke lapangan pusat kecamatan. Nah,
setelah di tengah-tengah lapangan, sinyal baru muncul dan bisa menelpon
keluarga atau orang terkasih yang jauh di sana. Gambar di atas menunjukkan Bang
Syamsul yang sedang mencari sinyal di tengah lapangan. Pulang ngos-ngosan tak
masalah asal tahu kabar di rumah semuanya sehat wal afiat.
Di
Haekesak, kebanyakan rumah bedinding bebak dan beratap seng. Jadi sangat jarang
orang menggunakan atap genting. Rumah mama kepala yang pada awal penempatan
saya dan Bang Syamsul tinggali (selanjutnya saya tinggal di asrama bersama
dengan siswa-siswa) juga berdinding bebak dan beratap seng seperti gambar di
bawah ini. Untungnya beberapa tahun terakhir Haekesak sudah dialiri listrik
walaupun ada juga rumah yang tidak dialiri listrik. Sedikit peringatan juga
kalau kadang listrik di Haekesak tidak stabil dan spaning. Kalau terjadi listrik nyala separuh yang ditandai dengan
lampu yang nyala separuh, lebih baik copot semua alat-alat listrik. Charger saya sudah menjadi korban karena
saya tetap ngotot memakai laptop di kala listrik tidak stabil.
Rumah Mama Kepala
Kemudian
kalau melihat Haekesak sedang mati lampu dan Timor Leste di seberang menyala
terang benderang, siswa-siswa saya hanya berkata, “Padahal sudah berapa tahun
Indonesia merdeka, ya, Pak?” Haha…. Mereka kritis juga. Aku sempat mendapat
cerita, kalau dulu di sini belum ada listrik, kemudian warga mendesak pemimpin
dengan berkata, “Kalau di tempat kami tidak dipasang listrik, lebih baik kami
ikut Timor Leste saja!”
Kalau
soal air, Haekesak punya We Bot. We Bot adalah sumber air yang menjadi sumber
irigasi utama sawah-sawah di Haekesak. We Bot berasal dari bahasa Tetun, We
berarti air, dan Bot berarti besar. Secara harfiah berarti air besar, namun
jangan bayangkan seperti air terjun atau semacamnya. We Bot kalau di Jawa hanya
seperti sungai-sungai kecil, namun karena di NTT ini air susah, sumber air
sekecil ini disebut besar. Beruntung Haekesak mempunyai We Bot, karena
desa-desa sebelah seperti Asumanu harus jauh-jauh datang ke sini untuk
mengambil air kala musim kemarau tiba. Mereka membawa dirijen dan datang
berombongan dengan truk.
Hanya
saja aliran air We Bot tidak disalurkan ke rumah-rumah, karena itu, saya masih
harus angkat-angkat air untuk keperluan sehari-hari. Hitung-hitung olahraga,
hehe…. Oiya, di dekat We Bot, ada Pembangkit Listrik Tenaga Air. Karena
kecilnya arus, PLTA ini hanya bisa memberikan aliran listrik kala malam tiba.
Di Dekat PLTA Haekesak
Nah,
di sini saya datang bukan untuk dolan.
Saya di sini ngajar. Kalau
teman-teman di penempatan lain harus berjalan berkilo-kilo meter, melewati
medan yang berat, saya tidak sedramatis itu karena rumah mama kepala ada persis
di depan sekolah, hehe…. Setelah saya pindah ke asrama putra bersama siswa-siswa
pun tidak berjalan jauh untuk sampai ke sekolah karena asrama masih ada di
kompleks SMKN Raihat. Di kompleks SMKN Raihat, tempatku mengabdi setahun ini,
ada beberapa rumah guru dan dua asrama siswa, kemudian di sekitarnya baru
rumah-rumah warga.
SMKN Raihat Difoto dari
Laboratorium IPA
Bersama Guru-Guru SMKN Raihat
Kalau ke sekolah
memang tak usah jalan jauh. Namun, seminggu sekali aku dan Bang Syamsul harus
jalan jauh untuk pergi ke pasar. Sekitar setengah jam lebih, kami harus
melewati jalan yang uniknya selalu berubah setiap bulannya. Awal kami datang,
jalan ke pasar masih berupa batu dan tanah. Beberapa bulan kemudian, menjadi
aspal berdebu. Setelah musim penghujan datang, baru jalan menjadi mulus karena
jalan baru. Dalam separuh perjalanan ke pasar, kami disuguhi sawah yang
membentang luas, yang kalau musim kemarau retak-retak, namun kalau musim
penghujan hijau. Sawah yang membentang itu diujungnya ada gunung yang
memanjang, nah, gunung itu sudah bukan wilayah Indonesia lagi.
Perjalanan ke Pasar
Di
setengah perjalanan selanjutnya, kami memasuki wilayah rumah-rumah penduduk.
Jadi siap-siap saja menyapa setiap warga ataupun anak-anak yang ditemui. Kami
juga bertemu anak sekolah yang berangkat sekolah (ini yang kadang membuatku
terharu karena anak-anak SD – SMK harus berjalan sangat jauh untuk ke sekolah) karena
kami ke pasar juga di jam sekolah. Ini terpaksa kami lakukan karena memang tak
ada jam mengajar di jam pertama di hari itu, juga karena pasar ini hanya buka
seminggu sekali. Pasar Haekesak hanya buka pada hari Rabu. Pasar ini tak hanya
menjual bahan makanan, namun juga pakaian, dan bahkan ponsel. Di sini juga
jangan heran kalau Dolar masih terlihat mentereng dibanding rupiah, karena di
pasar ini tak hanya warga Indonesia yang datang, namun juga orang dari luar
negeri.
Pasar Haekesak
Di
seberang pasar Haekesak, ada lapangan pusat kecamatan yang biasa dipakai untuk
kegiatan di tingkat kecamatan, seperti upacara hari besar nasional, berbagai
perlombaan seperti sepakbola, dan juga pasar malam. Jangan harap di pasar malam
ada berbagai arena permainan, di sini hanya ada berbagai wahana adu ketangkasan
seperti melempar bola ke gelas dan sebagainya. Pasar malam ini walau sederhana
sangat dinantikan warga, karena dalam setahun pengabdianku pun aku hanya
mengalami pasar malam sekali. Saat itu aku datang bersama anak-anak asrama dan
memenangkan piring dan alat makan yang selanjutnya dijadikan inventaris asrama.
Kambing yang Nyelonong Masuk ke Arena Lomba Sepak Bola
Aku
memang akrab dengan siswa karena tinggal di asrama bersama mereka. Di depan
asrama, ada lahan milik siswa peternakan yang akan terlihat berbeda di musim
yang berbeda. Coba lihat gambar di bawah, di musim penghujan, lahan bisa
menjadi sangat hijau, rumput bahkan bisa tumbuh tinggi. Sapi dan kerbau bahkan
sampai bingung mau makan rumput yang mana. Namun di gambar berikutnya, sapi dan
kerbau juga bingung, namun di musim kemarau mereka bingung mau makan apa,
karena rumput yang ada hanyalah rumput-rumput kering. Kondisi ini tidak hanya
di lahan peternakan, saya kira seluruh Belu akan seperti ini, di musim kemarau
akan sangat kering, sebaliknya, di musim penghujan bisa menjadi sangat hijau.
Sekitar Asrama di Musim Penghujan
Sekitar Asrama di Musim Kemarau
Kalau
melihat gambar di atas, Anda juga akan menyadari kalau sapi dan kerbau di sini
hanya dilepas begitu saja di tanah lapang tanpa takut mereka hilang. Namun, di
sini babi justru di kandang. Situasi berbeda dengan di jawa, sapi dan kerbau di
kandang, babi malah kalau bisa jangan ada di sekitar. Ini wajar karena di sini
harga babi jauh lebih tinggi dibanding harga sapi dan kerbau. Makanan khas dari
Belu saja bernama Sei Babi.
Di
sekitar asrama siswa, ada beberapa rumah dinas para guru SMK dan beberapa rumah
penduduk. Berbicara masalah penduduk Haekesak, kita tak bisa lepas dari pesta.
Di tiap acara keluarga seperti Sambut Baru atau pernikahan, akan diadakan pesta
sampai pagi. Benar, sampai pagi! Kalau para siswa membagi durasi pesta dengan
dua istilah, Mami dan Papi (ini hanya istilah untuk bercanda saja antara aku
dan anak-anak, hehe…). Pesta dimulai sekitar pukul 10 malam, itu acara Mami
atau makan dan minum. Ada penyelenggara pesta yang membedakan makanan yang bisa
dimakan oleh muslim (yang tidak ada daging babinya) dan makanan yang umum.
Namun, apabila tak ada pembagian seperti itu, kita sebagai tamu yang harus
memilih sendiri makanan yang boleh kita makan.
Setelah
acara Mami atau makan minum, pukul 12 malam, dimulailah acara Papi, atau patah
pinggul (karena capek menari sampai pinggul mau patah, begitu kata anak-anak,
haha…). Acara ini diisi dengan tarian Tebe, tarian di mana para pengunjung
membentuk lingkaran dan bergandengan tangan kemudian menari mengikuti alunan
lagu, dan tarian Dansa, tarian yang diikuti oleh pasangan. Acara tari-tarian
para pengunjung ini dilaksanakan SAMPAI PAGI. Saya tak pernah mengikuti acara
sampai pagi, paling pukul 1 atau 2 sudah ijin pulang. Saat saya berangkat
sekolah pun, kadang musik masih terdengar dan para pengunjung masih ber-Tebe
ria.
Apa
rahasia menari sampai pagi? Di Belu, ada minuman keras khas bernama Sopi. Para
warga selalu berkata, “Kalau ke sini harus minum Sopi, ini adat.” Kalau sudah
begini, pintar-pintarnya menolak saja bagi yang tidak ingin meminumnya. Kalau
digambarkan, rasa Sopi ini seperti tape, namun efeknya sangat memabukkan,
terutama bagi yang belum terbiasa. Minuman berwarna putih ini dibuat sendiri
oleh warga dan dimasukkan ke botol air mineral. Jangan coba-coba meminum Sopi
satu botol air mineral sendirian, biasanya Sopi diminum bergantian, satu orang
menuangkan ke gelas dan diputar dari satu orang ke orang yang lain.
Pesta di Rumah Warga, Sampai Pagi
Kalau
Anda memang tak mau meminum Sopi, para warga juga tak akan mengamuk, jadi
santai saja. Toleransi di Haekesak cukup tinggi, walau hanya segelintir muslim
di sini (hampir semua warga beragama Katolik, ada beberapa yang Protestan),
namun kami dibebaskan untuk beribadah sesuai agama kami. Sholat Jumat pada
awalnya aku dan Bang Syamsul laksanakan di Atambua, walau harus merogoh kocek
100-ribuan untuk sewa motor dan bensin. Setelah beberapa minggu, Pos TNI
Turiskain yang letaknya dekat dengan Haekesak mengadakan Sholat Jumat yang
diikuti oleh anggota TNI Perbatasan dan pedagang pasar Turiskain yang jadwalnya
tepat hari Jumat. Karena itu, tiap Jumat di jam terakhir, aku dan Bang Syamsul
ijin untuk ke Pos TNI Perbatasan, melaksanakan Sholat Jumat.
Sholat Jumat di Pos TNI Turiskain
Kini semua menyisakan kenangan.
Tangisan para siswa dan teman-teman guru waktu aku pamit meninggalkan Haekesak
membuatku merasa keberadaanku di Haekesak adalah sesuatu yang berharga. Paling
tidak bagiku, semua kenangan waktu di Haekesak dan SMKN Raihat adalah
momen-momen berharga yang mengajarkanku tentang kesederhanaan, perjuangan,
kerinduan, kerja keras, dan semangat untuk selalu menembus batasan diriku.
SMKN
Raihat….
Haekesak….
Hau domi o….
Berburu Belut dan Kelapa Muda di
Sawah
Latihan Tari Cerana
Latihan untuk Lomba Debat Bahasa
Indonesia
Grup Musik “Bukan Bintang Haekesak”
Bersama Siswa-Siswa Tercinta
















