Selasa, 06 September 2016

(Pengalaman SM-3T) ~ Tiap Hari Lihat Luar Negeri, Sedikit Catatan Tentang Haekesak

0komentar
Tiap Hari Lihat Luar Negeri
Sedikit Catatan Tentang Haekesak

            Sudah beberapa hari setelah penarikan SM-3T Jilid V UNNES di Kabupaten Belu dan semuanya menyisakan kenangan yang tak terlupakan. Sebenarnya kalau cerita secara lengkap tentang pengalaman mengabdi di perbatasan ini sudah jadi satu novel, namun karena tidak mungkin share satu novel penuh di blog, saya ceritakan saja sepenggal kisah di tempat pengabdianku yang bernama Haekesak. Mungkin bagi yang bukan orang NTT akan sulit mengeja nama tempat pengabdianku itu. Haekesak sebenarnya adalah nama daerah di desa Tohe, kecamatan Raihat, kabupaten Belu, NTT. Orang Atambua biasanya tidak tahu Tohe atau Raihat, mereka malah tahunya Haekesak.
            Baik, untuk mengawali tulisan ini, biasanya seorang guru akan ditanya, “Ke sekolah naik apa?” Kalau ditanya begitu, aku akan menjawab, “Naik pesawat!” Hehe…. Benar, tahun lalu saya dari Semarang ke NTT naik pesawat, tidak tanggung-tanggung, saya naik langsung 3 kali, Semarang – Jakarta, Jakarta – Kupang, dan Kupang – Atambua.

Perjalanan Kupang – Atambua

            Sesampainya di Atambua, langsung ada penyambutan dari dinas PPO kabupaten Belu. Ada tarian selamat datang dari siswa dan juga kami diberi tais atau kain adat Belu yang dikalungkan langsung oleh Bupati Belu kala itu. Tentu saja kondisi badan yang masih lelah setelah perjalanan jauh menyebabkan saya seperti memasuki dunia mimpi. Di hari itu juga, dibacakan penempatan SM-3T di kabupaten Belu. Setelah pembacaan penempatan, aku langsung dihampiri oleh dua orang guru SMKN Raihat, Pak John Seran dan Pak Yunus. Saat itu juga aku dituntun menaiki mikrolet yang disewakan untukku yang membawa 2 tas besar.
            Aku sempat merasa syok karena berada di tempat baru, dengan orang-orang yang secara fisik jelas berbeda denganku. Banyak dari mereka yang berkulit hitam dan berambut keriting. Namun itu hanya saat aku pertama datang saja, setelah dikenal lebih jauh, mereka sangat ramah, bahkan pada pendatang sepertiku. Bahasa yang digunakan oleh Pak Yunus dan Pak On, sopir mikrolet, pun aku tak mengetahuinya. Mereka menggunakan bahasa Tetun yang kala itu belum aku mengerti sama sekali. Melihatku kebingungan, Pak Yunus membuka percakapan denganku. Aku masih ingat kata-kata pertama beliau saat menjemputku dulu, “Pak Bayu lihat sungai dan gunung-gunung di sebelah sana? Itu su bukan Indonesia lagi, su luar negeri.”

Perjalanan Atambua – Haekesak

            Benar, kecamatan Raihat berbatasan langsung dengan luar negeri, tepatnya negara Timor Leste. Namun tak seperti di batas Mota’ain yang ada gapura dan monumen perbatasan, batas di kecamatan Raihat hanya sebuah sungai yang ketika musim kemarau bisa surut. Tentu saja banyak pos perbatasan di daerah ini.
            Waktu di Atambua, aku sempat senang karena sinyal Telkomsel penuh dan masih ada sinyal IM3. Sampai di Haekesak, sinyal itu berubah menjadi Telkomcel. Waktu awal-awal, aku PD saja menggunakan sinyal itu, pikirku, “Mungkin saja itu typo.” Aku bisa telpon dengan keluarga dan membuka facebook. Namun itu tak lama, tidak ada satu hari, pulsaku langsung hampir habis. Ada apa ini? Usut punya usut, aku baru tahu setelah Ibu Fat yang satu rumah denganku kala itu mengatakan bahwa itu adalah jaringan milik Timor Leste, itu juga bukan sinyal Telkomsel, itu Telkomcel. Tentu saja kalau aku memakai jaringan ini akan terjadi roaming dan memakan banyak pulsa.
            Setelah itu aku diajari untuk menyetel manual sinyal. Bicara masalah sinyal, di Haekesak sinyal hanya ada Telkomsel untuk provider Indonesia, itu saja harus menjajal keberuntungan. Sinyal Telkomsel sering hilang, bahkan parahnya aku beberapa kali mengalami hilang sinyal selama seminggu lebih. Untuk sinyal internet, jangan harap ada di sini, kecuali mau menggunakan provider milik luar negeri. Alhasil, selama setahun, aku hanya mengakses internet ketika berkunjung ke Atambua,

Cari Sinyal di Tengah Lapangan

            Kalau mengalami sinyal hilang lebih dari seminggu, jalan satu-satunya adalah berjalan kaki selama setengah jam lebih untuk pergi ke lapangan pusat kecamatan. Nah, setelah di tengah-tengah lapangan, sinyal baru muncul dan bisa menelpon keluarga atau orang terkasih yang jauh di sana. Gambar di atas menunjukkan Bang Syamsul yang sedang mencari sinyal di tengah lapangan. Pulang ngos-ngosan tak masalah asal tahu kabar di rumah semuanya sehat wal afiat.
            Di Haekesak, kebanyakan rumah bedinding bebak dan beratap seng. Jadi sangat jarang orang menggunakan atap genting. Rumah mama kepala yang pada awal penempatan saya dan Bang Syamsul tinggali (selanjutnya saya tinggal di asrama bersama dengan siswa-siswa) juga berdinding bebak dan beratap seng seperti gambar di bawah ini. Untungnya beberapa tahun terakhir Haekesak sudah dialiri listrik walaupun ada juga rumah yang tidak dialiri listrik. Sedikit peringatan juga kalau kadang listrik di Haekesak tidak stabil dan spaning. Kalau terjadi listrik nyala separuh yang ditandai dengan lampu yang nyala separuh, lebih baik copot semua alat-alat listrik. Charger saya sudah menjadi korban karena saya tetap ngotot memakai laptop di kala listrik tidak stabil.

Rumah Mama Kepala

            Kemudian kalau melihat Haekesak sedang mati lampu dan Timor Leste di seberang menyala terang benderang, siswa-siswa saya hanya berkata, “Padahal sudah berapa tahun Indonesia merdeka, ya, Pak?” Haha…. Mereka kritis juga. Aku sempat mendapat cerita, kalau dulu di sini belum ada listrik, kemudian warga mendesak pemimpin dengan berkata, “Kalau di tempat kami tidak dipasang listrik, lebih baik kami ikut Timor Leste saja!”
            Kalau soal air, Haekesak punya We Bot. We Bot adalah sumber air yang menjadi sumber irigasi utama sawah-sawah di Haekesak. We Bot berasal dari bahasa Tetun, We berarti air, dan Bot berarti besar. Secara harfiah berarti air besar, namun jangan bayangkan seperti air terjun atau semacamnya. We Bot kalau di Jawa hanya seperti sungai-sungai kecil, namun karena di NTT ini air susah, sumber air sekecil ini disebut besar. Beruntung Haekesak mempunyai We Bot, karena desa-desa sebelah seperti Asumanu harus jauh-jauh datang ke sini untuk mengambil air kala musim kemarau tiba. Mereka membawa dirijen dan datang berombongan dengan truk.
            Hanya saja aliran air We Bot tidak disalurkan ke rumah-rumah, karena itu, saya masih harus angkat-angkat air untuk keperluan sehari-hari. Hitung-hitung olahraga, hehe…. Oiya, di dekat We Bot, ada Pembangkit Listrik Tenaga Air. Karena kecilnya arus, PLTA ini hanya bisa memberikan aliran listrik kala malam tiba.

Di Dekat PLTA Haekesak

            Nah, di sini saya datang bukan untuk dolan. Saya di sini ngajar. Kalau teman-teman di penempatan lain harus berjalan berkilo-kilo meter, melewati medan yang berat, saya tidak sedramatis itu karena rumah mama kepala ada persis di depan sekolah, hehe…. Setelah saya pindah ke asrama putra bersama siswa-siswa pun tidak berjalan jauh untuk sampai ke sekolah karena asrama masih ada di kompleks SMKN Raihat. Di kompleks SMKN Raihat, tempatku mengabdi setahun ini, ada beberapa rumah guru dan dua asrama siswa, kemudian di sekitarnya baru rumah-rumah warga.

SMKN Raihat Difoto dari Laboratorium IPA

Bersama Guru-Guru SMKN Raihat

            Kalau ke sekolah memang tak usah jalan jauh. Namun, seminggu sekali aku dan Bang Syamsul harus jalan jauh untuk pergi ke pasar. Sekitar setengah jam lebih, kami harus melewati jalan yang uniknya selalu berubah setiap bulannya. Awal kami datang, jalan ke pasar masih berupa batu dan tanah. Beberapa bulan kemudian, menjadi aspal berdebu. Setelah musim penghujan datang, baru jalan menjadi mulus karena jalan baru. Dalam separuh perjalanan ke pasar, kami disuguhi sawah yang membentang luas, yang kalau musim kemarau retak-retak, namun kalau musim penghujan hijau. Sawah yang membentang itu diujungnya ada gunung yang memanjang, nah, gunung itu sudah bukan wilayah Indonesia lagi.
  
Perjalanan ke Pasar

            Di setengah perjalanan selanjutnya, kami memasuki wilayah rumah-rumah penduduk. Jadi siap-siap saja menyapa setiap warga ataupun anak-anak yang ditemui. Kami juga bertemu anak sekolah yang berangkat sekolah (ini yang kadang membuatku terharu karena anak-anak SD – SMK harus berjalan sangat jauh untuk ke sekolah) karena kami ke pasar juga di jam sekolah. Ini terpaksa kami lakukan karena memang tak ada jam mengajar di jam pertama di hari itu, juga karena pasar ini hanya buka seminggu sekali. Pasar Haekesak hanya buka pada hari Rabu. Pasar ini tak hanya menjual bahan makanan, namun juga pakaian, dan bahkan ponsel. Di sini juga jangan heran kalau Dolar masih terlihat mentereng dibanding rupiah, karena di pasar ini tak hanya warga Indonesia yang datang, namun juga orang dari luar negeri.

Pasar Haekesak

            Di seberang pasar Haekesak, ada lapangan pusat kecamatan yang biasa dipakai untuk kegiatan di tingkat kecamatan, seperti upacara hari besar nasional, berbagai perlombaan seperti sepakbola, dan juga pasar malam. Jangan harap di pasar malam ada berbagai arena permainan, di sini hanya ada berbagai wahana adu ketangkasan seperti melempar bola ke gelas dan sebagainya. Pasar malam ini walau sederhana sangat dinantikan warga, karena dalam setahun pengabdianku pun aku hanya mengalami pasar malam sekali. Saat itu aku datang bersama anak-anak asrama dan memenangkan piring dan alat makan yang selanjutnya dijadikan inventaris asrama.

Kambing yang Nyelonong Masuk ke Arena Lomba Sepak Bola

            Aku memang akrab dengan siswa karena tinggal di asrama bersama mereka. Di depan asrama, ada lahan milik siswa peternakan yang akan terlihat berbeda di musim yang berbeda. Coba lihat gambar di bawah, di musim penghujan, lahan bisa menjadi sangat hijau, rumput bahkan bisa tumbuh tinggi. Sapi dan kerbau bahkan sampai bingung mau makan rumput yang mana. Namun di gambar berikutnya, sapi dan kerbau juga bingung, namun di musim kemarau mereka bingung mau makan apa, karena rumput yang ada hanyalah rumput-rumput kering. Kondisi ini tidak hanya di lahan peternakan, saya kira seluruh Belu akan seperti ini, di musim kemarau akan sangat kering, sebaliknya, di musim penghujan bisa menjadi sangat hijau.

Sekitar Asrama di Musim Penghujan

Sekitar Asrama di Musim Kemarau

            Kalau melihat gambar di atas, Anda juga akan menyadari kalau sapi dan kerbau di sini hanya dilepas begitu saja di tanah lapang tanpa takut mereka hilang. Namun, di sini babi justru di kandang. Situasi berbeda dengan di jawa, sapi dan kerbau di kandang, babi malah kalau bisa jangan ada di sekitar. Ini wajar karena di sini harga babi jauh lebih tinggi dibanding harga sapi dan kerbau. Makanan khas dari Belu saja bernama Sei Babi.
            Di sekitar asrama siswa, ada beberapa rumah dinas para guru SMK dan beberapa rumah penduduk. Berbicara masalah penduduk Haekesak, kita tak bisa lepas dari pesta. Di tiap acara keluarga seperti Sambut Baru atau pernikahan, akan diadakan pesta sampai pagi. Benar, sampai pagi! Kalau para siswa membagi durasi pesta dengan dua istilah, Mami dan Papi (ini hanya istilah untuk bercanda saja antara aku dan anak-anak, hehe…). Pesta dimulai sekitar pukul 10 malam, itu acara Mami atau makan dan minum. Ada penyelenggara pesta yang membedakan makanan yang bisa dimakan oleh muslim (yang tidak ada daging babinya) dan makanan yang umum. Namun, apabila tak ada pembagian seperti itu, kita sebagai tamu yang harus memilih sendiri makanan yang boleh kita makan.
            Setelah acara Mami atau makan minum, pukul 12 malam, dimulailah acara Papi, atau patah pinggul (karena capek menari sampai pinggul mau patah, begitu kata anak-anak, haha…). Acara ini diisi dengan tarian Tebe, tarian di mana para pengunjung membentuk lingkaran dan bergandengan tangan kemudian menari mengikuti alunan lagu, dan tarian Dansa, tarian yang diikuti oleh pasangan. Acara tari-tarian para pengunjung ini dilaksanakan SAMPAI PAGI. Saya tak pernah mengikuti acara sampai pagi, paling pukul 1 atau 2 sudah ijin pulang. Saat saya berangkat sekolah pun, kadang musik masih terdengar dan para pengunjung masih ber-Tebe ria.
            Apa rahasia menari sampai pagi? Di Belu, ada minuman keras khas bernama Sopi. Para warga selalu berkata, “Kalau ke sini harus minum Sopi, ini adat.” Kalau sudah begini, pintar-pintarnya menolak saja bagi yang tidak ingin meminumnya. Kalau digambarkan, rasa Sopi ini seperti tape, namun efeknya sangat memabukkan, terutama bagi yang belum terbiasa. Minuman berwarna putih ini dibuat sendiri oleh warga dan dimasukkan ke botol air mineral. Jangan coba-coba meminum Sopi satu botol air mineral sendirian, biasanya Sopi diminum bergantian, satu orang menuangkan ke gelas dan diputar dari satu orang ke orang yang lain.

Pesta di Rumah Warga, Sampai Pagi

            Kalau Anda memang tak mau meminum Sopi, para warga juga tak akan mengamuk, jadi santai saja. Toleransi di Haekesak cukup tinggi, walau hanya segelintir muslim di sini (hampir semua warga beragama Katolik, ada beberapa yang Protestan), namun kami dibebaskan untuk beribadah sesuai agama kami. Sholat Jumat pada awalnya aku dan Bang Syamsul laksanakan di Atambua, walau harus merogoh kocek 100-ribuan untuk sewa motor dan bensin. Setelah beberapa minggu, Pos TNI Turiskain yang letaknya dekat dengan Haekesak mengadakan Sholat Jumat yang diikuti oleh anggota TNI Perbatasan dan pedagang pasar Turiskain yang jadwalnya tepat hari Jumat. Karena itu, tiap Jumat di jam terakhir, aku dan Bang Syamsul ijin untuk ke Pos TNI Perbatasan, melaksanakan Sholat Jumat.

Sholat Jumat di Pos TNI Turiskain

            Kini semua menyisakan kenangan. Tangisan para siswa dan teman-teman guru waktu aku pamit meninggalkan Haekesak membuatku merasa keberadaanku di Haekesak adalah sesuatu yang berharga. Paling tidak bagiku, semua kenangan waktu di Haekesak dan SMKN Raihat adalah momen-momen berharga yang mengajarkanku tentang kesederhanaan, perjuangan, kerinduan, kerja keras, dan semangat untuk selalu menembus batasan diriku.
            SMKN Raihat….
            Haekesak….
            Hau domi o….

Berburu Belut dan Kelapa Muda di Sawah


Latihan Tari Cerana


Latihan untuk Lomba Debat Bahasa Indonesia


Grup Musik “Bukan Bintang Haekesak”



Bersama Siswa-Siswa Tercinta 
 

Bayu's Secret Room © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates