Rute
Infinity
~ Part II ~
Kekuatan
sebuah batu di padang pasir diuji ketika ia mengalami perubahan suhu yang
ekstrim, panasnya siang dan dinginnya malam membuatnya mudah lapuk dan hancur.
Mungkin saya sebagai orang yang berkepala batu diuji oleh perubahan suhu ini,
dalam arti yang sebenarnya. Dua tahun lalu, saya diuji oleh panasnya Tanah
Timor yang sering membuat hati panas juga karena keterbatasan yang ada. Setelah
ujian itu berakhir, sekarang ujian berganti dengan dinginnya Kota Bandung,
dengan kisahnya yang juga cukup dingin.
Melakukan
hal yang sama berulang-ulang dalam siklus-siklus, itulah hakikat dari semester
pertama perkuliahan PPG. Mematikan
kebosanan, itulah cara terampuh menempuh rute kali ini yang saya sebut workshop. Bianglala kali ini bercerita
tentang pembuatan perangkat pembelajaran – peerteaching
dan seterusnya. Bertemu orang yang sama setiap hari tentunya menimbulkan banyak
cerita, juga drama. Semakin sering bertemu dengan seseorang, semakin dekat
dengan seseorang, maka semakin banyak pula peluang munculnya masalah. Karena
hidup adalah kumpulan dari masalah, maka tugas kita untuk menyelesaikannya,
atau tidak.
Rute
berlanjut dengan tajuk kembali ke sekolah
yang saya sebut PPLK. Kembali menjadi guru praktik, kembali bertemu siswa yang
unik, kembali bertemu siswa dengan berbagai masalahnya, kembali mengenal
anak-anak yang dengan mudahnya menyayangi kita, kemudian kembali berpisah dengan
sekolah dan semua warganya setelah beberapa bulan. Entah mengapa sampai kalimat
ini, saya merasa agak melankolis. Mungkin karena beberapa hari lagi program ini
akan selesai, bukan hanya PPLK, namun juga PPG secara keseluruhan.
Bertemu
untuk berpisah. Itu yang saya rasakan sekarang. Entah butuh berapa kali
perpisahan lagi untuk membentuk kita menjadi orang yang lebih dewasa? Tanah
Timor yang kering dengan tanah yang retak, jalan berbatu setapak, serta jarak
dengan keluarga yang kadang membuat terisak; setelah mengenal dan memahami itu
semua, saya dihadapkan dengan perpisahan yang diiringi isak tangis para siswa
dan rekan guru. Kini, aku lebih banyak lagi mengenal pribadi dari berbagai suku
di rute ini.
Kota Bandung
dengan taman-tamannya yang indah, mall-mallnya yang megah, dan kemacetan yang
membuat gerah di tengah cuaca yang dingin, memberi kesan, romansa, serta
kenangan yang tak terlupakan. Lingkungan Sunda dengan banyak rekan dari
Makassar dan Medan membuatku lebih mengenal arti toleransi. Kita memang
berbeda, namun bukan berarti tak bisa hidup bersama. Dengan menyingkirkan
sedikit ego, walau kembali lagi, pasti ada drama, namun toh setahun ini kami bisa bertahan dengan itu semua.
Kembali lagi, butuh
berapa kali perpisahan lagi untuk membentuk kita menjadi orang yang lebih
dewasa? Berapa rute lagi yang harus kita lalui untuk menemukan arti hidup yang
sejati?
Lagi, saya
masih belum bisa berhenti berjalan.
Karena rumah
belum saya temukan.