Rute
Infinity
~
Part I ~
Pernah mendengar istilah dunia parallel? Bagi yang tertarik
dengan topik perjalanan waktu pasti tahu dengan istilah itu. Pada intinya dunia parallel adalah dunia di mana
perjalanan hidup kita bercabang menjadi beberapa dimensi yang berbeda. Contoh mudahnya ketika seseorang lulus dari
pendidikannya, perjalanan hidupnya bisa bercabang menjadi beberapa kemungkinan,
di dunia A dia bisa saja menjadi seorang dokter, di dunia B dia bisa menjadi
seorang pencuri, di dunia C mungkin ia melanjutkan pendidikannya. Misal saja
dia melalui dunia A, hidupnya nantinya akan bercabang lagi, bisa saja di dunia
A1 dia menjadi dokter yang sukses, di dunia A2 dia menjadi pengangguran karena
gagal, di dunia A3 dia menjadi dokter yang dipenjara karena malpraktik.
Baik, karena tulisan kali ini saya
tidak akan membahas tentang perjalanan waktu, pembahasan tentang hal rumit ini
cukup sampai di sini. Sebenarnya tanpa perjalanan waktu pun, yaitu di kehidupan
nyata kita, kita akan diberikan beberapa cabang rute yang berbeda pada hidup
kita. Kita pun bebas menentukan rute pilihan kita, apakah ke jalur yang lurus,
atau ke jalur yang bergelombang, jalur yang penuh lubang, atau bahkan untuk
berhenti di persimpangan. Satu hal yang perlu kita ketahui, cabang rute itu
jumlahnya tak terbatas dan kita tak kan tahu bagaimana kelanjutan ceritanya
sebelum mencoba melewatinya.
Tahun lalu, saya memilih rute yang
memberi saya banyak pelajaran hidup. Saya memilih mengabdi sebagai pengajar di
pedalaman kabupaten Belu, perbatasan Indonesia dengan Timor Leste. Memilih rute
ini sebenarnya bukan merupakan jalan mudah. Beradaptasi dengan lingkungan yang
benar-benar baru dan berbeda dengan tempat yang selama ini menjadi zona nyaman
butuh usaha lebih. Selanjutnya biarkan saya bercerita sedikit tentang rute itu.
Di saat beberapa anjing tetangga
berpatroli, ketika bintang-bintang masih menjadi penerang alami, aku sudah
bangun dan membawa ember di tangan kanan dan kiri, mengangkat air untuk mandi.
Masak seadanya, makan seadanya, berangkat sekolah dibarengi siswa SMK di
asrama. Kadang bertemu dengan siswa SD yang berjalan kaki jauh untuk mencapai
sekolah mereka di dekat asrama kami.
Menyibukkan diri di sekolah adalah
cara terbaik agar waktu cepat berlalu. Sekolah di samping lapangan yang
lubangnya lebar saat musim kemarau, jalan di sekitarnya yang juga lebar
lubangnya, punya sumber air di mana desa-desa sebelah kadang berombongan
memakai truk untuk mengambil airnya, punya satu pasar yang buka satu hari
seminggu, punya satu pos TNI yang siap melindungi negeri, semua itu aku sebut
Haekesak.
Ada dua kecamatan yang lebih berada
di gunung dan akses ke sana juga cukup membuat geleng-geleng kepala. Bukan
jalan rusak, tapi jalannya belum dibangun, hanya berupa batu. Dengan tempat
kebanggannya, bukit Fulan Fehan, orang-orang menyebutnya Lamaknen dan Lamaknen
Selatan. Haekesak dan Lamaknen, keduanya bertemu di tempat yang lebih sejuk dan
merupakan basis penyebaran agama Katolik, Lahurus. Mari turun terus,
meninggalkan daerah dengan jalan terjal menuju ibukota kabupaten, Atambua. Kita
masih bisa turun lagi untuk menikmati pemandangan indah pantai yang belum
banyak terjamah tangan jahil manusia, Atapupu. Belum cukup? Pos Perbatasan Mota’ain
yang baru saja dibangun ulang menjadi lebih cantik sudah menanti kita di ujung
negara.
Rute hidup kala itu mengajarkanku tentang
perbedaan. Benar, kita memang berbeda. Lagipula, pada hakikatnya, tak ada
manusia di dunia ini yang benar-benar sama. Berbagai sifat, berbagai kebiasaan,
berbagai perilaku, berbagai pola pikir, semua berbeda. Namun dari sini kita
bisa belajar bahwa Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya semboyan belaka.
Kesabaran, penantian, kesederhanaan,
itu juga pelajaran yang kuambil dari rute itu. Rute bagian I, Belu, NTT, memang
sudah berakhir, namun kenangan tentangnya tak akan pernah berakhir. Kemudian
kini aku mulai dihadapkan dengan rute baru. Melanjutkan pendidikan agar menjadi
orang yang lebih baik, menjadi tema kali ini. Jadi, apakah rutemu akan
semenarik ruteku sebelumnya, Bandung?