Minggu, 10 Desember 2017

(Inspirasi) ~ Rute Infinity ~ Part II ~

0komentar
Rute Infinity 
~ Part II ~

           Kekuatan sebuah batu di padang pasir diuji ketika ia mengalami perubahan suhu yang ekstrim, panasnya siang dan dinginnya malam membuatnya mudah lapuk dan hancur. Mungkin saya sebagai orang yang berkepala batu diuji oleh perubahan suhu ini, dalam arti yang sebenarnya. Dua tahun lalu, saya diuji oleh panasnya Tanah Timor yang sering membuat hati panas juga karena keterbatasan yang ada. Setelah ujian itu berakhir, sekarang ujian berganti dengan dinginnya Kota Bandung, dengan kisahnya yang juga cukup dingin.
        Melakukan hal yang sama berulang-ulang dalam siklus-siklus, itulah hakikat dari semester pertama perkuliahan PPG.  Mematikan kebosanan, itulah cara terampuh menempuh rute kali ini yang saya sebut workshop. Bianglala kali ini bercerita tentang pembuatan perangkat pembelajaran – peerteaching dan seterusnya. Bertemu orang yang sama setiap hari tentunya menimbulkan banyak cerita, juga drama. Semakin sering bertemu dengan seseorang, semakin dekat dengan seseorang, maka semakin banyak pula peluang munculnya masalah. Karena hidup adalah kumpulan dari masalah, maka tugas kita untuk menyelesaikannya, atau tidak.
            Rute berlanjut dengan tajuk kembali ke sekolah yang saya sebut PPLK. Kembali menjadi guru praktik, kembali bertemu siswa yang unik, kembali bertemu siswa dengan berbagai masalahnya, kembali mengenal anak-anak yang dengan mudahnya menyayangi kita, kemudian kembali berpisah dengan sekolah dan semua warganya setelah beberapa bulan. Entah mengapa sampai kalimat ini, saya merasa agak melankolis. Mungkin karena beberapa hari lagi program ini akan selesai, bukan hanya PPLK, namun juga PPG secara keseluruhan.
            Bertemu untuk berpisah. Itu yang saya rasakan sekarang. Entah butuh berapa kali perpisahan lagi untuk membentuk kita menjadi orang yang lebih dewasa? Tanah Timor yang kering dengan tanah yang retak, jalan berbatu setapak, serta jarak dengan keluarga yang kadang membuat terisak; setelah mengenal dan memahami itu semua, saya dihadapkan dengan perpisahan yang diiringi isak tangis para siswa dan rekan guru. Kini, aku lebih banyak lagi mengenal pribadi dari berbagai suku di rute ini.
Kota Bandung dengan taman-tamannya yang indah, mall-mallnya yang megah, dan kemacetan yang membuat gerah di tengah cuaca yang dingin, memberi kesan, romansa, serta kenangan yang tak terlupakan. Lingkungan Sunda dengan banyak rekan dari Makassar dan Medan membuatku lebih mengenal arti toleransi. Kita memang berbeda, namun bukan berarti tak bisa hidup bersama. Dengan menyingkirkan sedikit ego, walau kembali lagi, pasti ada drama, namun toh setahun ini kami bisa bertahan dengan itu semua.
Kembali lagi, butuh berapa kali perpisahan lagi untuk membentuk kita menjadi orang yang lebih dewasa? Berapa rute lagi yang harus kita lalui untuk menemukan arti hidup yang sejati?
Lagi, saya masih belum bisa berhenti berjalan.

Karena rumah belum saya temukan. 
 

Bayu's Secret Room © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates