Jumat, 29 November 2019

(Inspirasi) ~ Lima Tempat di Tegal yang Patut Dijajal

0komentar

Kini, Tegal adalah tempatku mencari sesuap nasi. Tempat yang dulu sempat kubenci karena merupakan lokasi KKN terjauh dari kampus tercinta, namun justru sekarang menjadi tempat penyambung nyawa. Selama KKN, aku memang terhambat oleh program dan transportasi. Namun kini, Si Biru siap menemani menjelajahi tempat dengan logat Jawa yang sedikit berbeda ini.

Waduk Cacaban


Setelah mendapat kepastian tentang pekerjaan di Tegal, sambil mencari kos, aku mampir di sebuah danau buatan yang terletak di kecamatan Kedungbanteng. Kalau kalian mencari di google ‘tempat wisata Tegal’, pasti kalian akan menemukan nama Waduk Cacaban.
Ada dua pintu masuk dan kalian cukup membeli tiket sekali saja untuk masuk ke dua pintu itu. Panas-panas sejuk, itu kesanku waktu di sana. Bagi yang ingin merasakan bagaimana rasanya naik kapal tapi takut tercebur ke laut, maka di waduk ini kalian bisa merasakan naik kapal yang memang disewakan tanpa takut tercebur ke laut, karena paling kalian akan tercebur ke danau. Garing? Oke, lanjut.

Alun-Alun Tegal


Biasanya setiap kota mempunyai alun-alun, dan di Tegal memang ada alun-alun, walau tak sebesar Simpang Lima Semarang, bahkan lebih kecil dari Alun-Alun Pemalang. Di alun-alun yang terletak di Jalan Pancasila ini terdapat banyak penjual makanan, jadi tak usah khawatir lapar, hanya saja saranku, tanya harga dulu, jangan makan dulu, agar tak menyesal kemudian.
Satu lagi peringatan, bagi lidah non-Tegal, soto di sini pasti dicampur dengan tauco yang membuat makanan terasa sedikit asam. Tapi, kalau mau coba, oke-oke saja, siapa tahu malah ketagihan.

Pantai Purwahamba Indah


Setelah menjelajah Indonesia timur, standarku terhadap pantai meninggi. Namun, untuk sekedar mengobati kerinduan akan bau laut, bolehlah sesekali ke pantai pantura. Ya, ketika kalian berjalan dari Pemalang ke arah Tegal atau sebaliknya, kalian akan melihat gerbang masuk tepat di pinggir jalan raya, tepatnya di kecamatan Suradadi.
Senja di sini lumayan indah. Bukan, aku bukan sedang sok indie yang kesenja-senjaan. Kalau indah ya indah, apalagi kalau mau sedikit berjalan ke jembatan panjang. Tips lagi, banyak pedagang yang cukup antusias menjajakan dagangannya, jadi kalau ada tikar jangan langsung diduduki. Kalau memang tak mau beli, duduk saja di sembarang tempat, merasakan pasir yang lembut bisa kok menjadi sumber kedamaian.

Taman Tegalsari


Cari spot foto? Cari senja? Coba ke taman yang terletak di Tegalsari ini waktu sore hari, pasti banyak orang-orang berkumpul bersama teman, keluarga, atau yang sekedar berswafoto. Cukup membayar tiket parker, kalian dapat melihat suatu taman yang sudah berbau laut. Terlalu puitis? Oke, bau ikan asin.
Ada taman bermain untuk anak-anak. Atau bisa duduk di pinggiran sambil melihat perahu lalu-lalang. Kebanyakan yang nongkrong di sini adalah warga sekitar yang ketika ke sana kulihat mereka sangat santai dan bahagia. Mungkin benar, pantai identik dengan orang-orang santai.

Danau Beko


Masih kurang jauh mainnya? Oke! Mari kita lanjut ke Tegal yang berbatasan dengan Brebes, tepatnya di kecamatan Margasari, di sana ada danau yang terbentuk dari bekas galian tambang bernama Danau Beko. Waktu aku ke sana, ada sesi prewed sepasang calon pengantin. Benar, suasananya memang romantis, walau sejarah tempat ini cukup tragis. Danau ini telah menelan korban nyawa beberapa orang karena tenggelam saat berenang.
Kedamaian, satu kata itu cukup mewakili tempat ini karena butuh kesabaran untuk mencapati tempat terpencil ini. Debu juga berterbangan ketika di jalan. Masih banyak orang yang belum tahu daerah ini, jadi buruan cari foto di sini sebelum menjadi tempat yang mainstream.

Agak bingung juga mencari tempat untuk dijelajahi di Tegal, karena orang sekitar ketika ditanyai juga ikut bingung. Tapi masih banyak waktu aku di sini, siapa tahu menemukan sendiri. Jadi, sudah siap menjajal Tegal?

(Inspirasi) ~ Lima Tempat di Bandung yang Penuh Kasih dan Kisah

0komentar
Agak terlambat menulis tentang Bandung karena aku sudah pulang lama dari sana. Namun, Bandung yang dulu sering hujan dan dingin, kini memanggilku untuk bernostalgia menceritakan beberapa sudut kota yang mungkin terlupa.
Kalau aku menulis tempat yang terkenal di Bandung, mungkin tulisanku ini tak akan muncul di google karena banyak penulis juga menulis tentang tempat-tempat yang mainstream. Kali ini aku akan menulis tentang tempat yang pernah kudatangi saja, yang mungkin masih mainstream, tetapi tak apalah, untuk kenangan pribadi.

Menara Kembar Masjid Raya Bandung 


Pernah ke Masjid Raya? Hal yang sering terlewatkan adalah ternyata menara yang ada di masjid ini bisa kita naiki. Dengan membayar tiket masuk, kita akan naik lift dan sesampainya di atas, kita dapat melihat pemandangan Bandung dari atas.
Pernah suatu ketika aku mengikuti kegiatan mencari jejak Pramuka, dan di atas ini adalah salah satu posnya. Di sana aku dan kelompokku disuruh menaksir tinggi gunung yang terlihat, lupa aku nama gunungnya. Sayang sekali aku kurang berkompeten dalam hal naksir-menaksir, apalagi menaksir wanita. Garing? Oke, lanjut!

Masjid Al-Irsyad


Aku baru sadar, seperti anak sholeh saja jalan-jalannya lagi-lagi ke masjid. Baik, aku mampir ke masjid ini setelah mengikuti tes CPNS yang hasilnya tak lolos waktu itu. Namun, aku tak menyesal, karena perjalanan itu mengantarkanku ke tempat ini. Desain eksterior berupa kubus yang terdapat lafal Allah menjadi pesona pertama. Kebersihan masjid yang terletak di Kota Baru Parahyangan ini membuatku nyaman walau selalu disinggahi oleh banyak orang.
Hal yang paling spesial dan membedakan masjid ini dari masjid lainnya adalah di bagian depan Imam terdapat kolam berair jernih dan kita langsung disuguhi pemandangan hijau alam sekitar yang asri. Sebagai pusat dari pemandangan itu, ada batu bertuliskan Allah berbentuk bola. Sungguh tempat yang wajib dikunjungi walau sekali.

Taman Hutan Babakan Siliwangi


Baksil, taman yang terletak di kecamatan Coblong ini menyuguhkan jembatan-jembatan hijau di tengah rimbunnya pohon-pohon yang menyerupai hutan. Hutan di tengah kota, itu konsep taman ini. Bagi para jomlo, lebih baik menyiapkan hati kalau bertemu dengan pasangan yang pacaran, maupun sedang prewed.
Taman ini cukup luas untuk jalan-jalan, jadi jangan hanya menelusuri yang terlihat. Kadang yang tak terlihat secara langsung justru lebih indah. Cie, puitis lagi, iya lah, lulusan sastra!

Chingu Café


Kalau main ke Bandung Wetan, jangan lewatkan kafe satu ini. Mungkin sekarang sudah banyak cabangnya, namun waktu itu, kafe yang interiornya penuh dengan hal-hal bernuansa korea ini cukup membuatku terkesan. Bersama rombongan, kami memesan makanan yang bahkan kami tak tahu cara makannya bagaimana, misalnya memanggang daging satu per satu, juga aneka mi yang sulit dilafalkan dan rasanya sangat berbeda dari imajinasi ketika menonton drama Korea.
Kembali lagi, karena wisata zaman sekarang adalah wisata foto, tempat ini didesain se-Korea mungkin, mulai dari tulisan-tulisan, poster grup musik, poster film, halte-haltean, pohon-pohonan, kafe-kafean, juga musik latar yang diputar adalah musik yang sedang populer di kalangan K-poper.

Chinatown


Bagaimana, sih! Ke Bandung malah ke tempat bernuansa negara-negara lain. Ya seperti yang pernah kusinggung, wisata sekarang adalah wisata foto. Bahkan warga asli Bandung juga bercerita, kalau di sini banyak tempat wisata yang hanya bagus untuk difoto. Kalau tadi bernuansa Korea, di sini, ya sesuai nama, bernuansa Cina.
Sempat tersesat di tempat ibadah dan restoran babi, akhirnya berbekal google map, sampai juga ke tempat wisata tersembunyi di  kecamatan Andir ini. Sama seperti Chingu Café, Chinatown menyulap lahan sempit menjadi sebuah tempat bernuansa Cina. Saran, sih, kalau mau ke sini jangan waktu libur, nanti fotonya pakai ngantri kan ngga’ asik.

Masih banyak tempat di Bandung yang sempat kudatangi namun tak kutulis kali ini. Kapan-kapan, lah. Terlalu banyak kisah, terlalu banyak jalan-jalan tanpa arah. Kalau ingin mengenal Bandung secara umum, coba dengarkan lagu Fiersa Besari berjudul ‘Bandung’. Itu juga bisa jadi ringkasan tempat-tempat mana yang wajib kalian singgahi ketika ke kota penuh kenangan ini.

Minggu, 24 November 2019

(Inspirasi) ~ Rute Infinity ~ Part III ~

0komentar
Rute Infinity
~ Part III ~

     Februari 2017, tulisan bersambung Rute Infinity dimulai. Berkisah tentang jalan yang saya lalui ketika bertahan hidup di perbatasan dengan segala keterbatasannya. NTT memberi pengalaman tentang hidup yang keras dan panas, yang tetap saja bisa dijalani asal mau bersabar dan berjuang.  Desember 2017, tulisan berlanjut ke bagian dua, tentang dinginnya Bandung beserta berjuta kisah yang sekarang hanya bisa dikenang.
     Jeda ke tulisan ketiga agak lama karena beberapa hal yang mungkin hanya saya jadikan alasan saja. Pertama, sepulang dari Bandung, saya resmi menjadi pengangguran dan memulai siklus melamar pekerjaan – ditolak – melamar lagi – ditolak lagi, dan seterusnya. Kedua, kehilangan orang yang paling kusayang adalah salah satu fase yang harus kujalani dengan pura-pura kuat.
     Cukup dengan alasannya, dan kini saya akan melanjutkan blog yang tak tentu kapan tulisannya akan keluar ini. Di awal rute ini, saya akan membuat sebuah pengakuan. Ya, saya bukan orang yang berhasil dalam menggapai mimpi saya. Saya mengakui kepengecutan saya dan kini saya bekerja sebagai orang yang ada dalam rutinitas.
     Di rute kali ini, saya bukanlah mobil yang melaju untuk sampai ke tujuannya. Saya adalah jalan. Saya adalah jembatan. Walau mimpi saya tak tergapai, tetapi saya kini memiliki banyak orang yang masih memiliki banyak kesempatan untuk menggapai mimpinya. Walau saya tak bisa memberanikan diri saya menyebut diri saya penulis, tetapi saya akan menjadi jalan bagi penulis-penulis di masa depan. Saya orang yang pernah bermimpi terlalu tinggi, jadi saya akan menjadi jembatan bagi para pemimpi menghilangkan status pemimpi mereka. Ya, mereka adalah siswa-siswi saya. Guru adalah pekerjaan tetap saya.
     Di sela rutinitas, saya masih tetap membuat karya, tak muluk-muluk lagi ingin menjadi ini-itu, saya hanya ingin menyalurkan apa yang saya bisa di media. Minimal saya bisa mengenang apa yang saya lalui dan saya jelajahi melalui imaji. Di mana?



     Rutinitas adalah rute yang berputar.
     Apakah saya yang terbiasa berpetualang bisa bertahan walau ini tak sebentar?

Kamis, 24 Januari 2019

(Inspirasi) ~ Lima Buku Terakhir yang Saya Baca

0komentar


 
Seiring kegiatan mengajar dan banyak kejadian tak terduga di akhir tahun 2018, semakin tak ada waktu bagi saya untuk menulis karya. Namun, waktu-waktu luang masih saya gunakan untuk membaca beberapa karya dari beberapa penulis, baik yang karyanya sudah saya kenal maupun belum. Saya pikir ada baiknya saya menceritakan sedikit tentang buku-buku yang sudah saya baca, barangkali ada di antara para pembaca yang sedang mencari bacaan untuk hiburan, walau tentu saja tulisan ini murni dari sudut pandang sendiri.

Ziarah (Iwan Simatupang)



Sudah mulai saya baca mulai saat masih di Bandung. Seorang kawan pernah berkata, “Bahasanya susah, Bay.” Dan benar, ditunjang dengan isinya yang sangat absurd membuat saya membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menamatkannya walau bukunya relatif tipis. Bercerita tentang seorang pelukis yang ditinggal mati istrinya hingga ia menjadi seorang pengapur makam.
Keabsurdan Ziarah bukan merupakan hiasan, namun mengisi seluruh rangkaian cerita. Misalnya bagian di mana sang pelukis memutuskan untuk bunuh diri dengan melompat dari gedung tinggi, namun usahanya gagal karena ia menjatuhi seorang perempuan. Peristiwa yang disaksikan banyak orang, termasuk polisi, mengharuskan pelukis untuk menikahi perempuan itu. Logika yang sangat absurd, namun justru ini kekuatan dari buku ini.
Bagi yang mencari buku untuk sekadar hiburan ringan, silahkan jauhi buku ini. Namun, bila ingin mengetahui salah satu sastra yang mempengaruhi sejarah sastra di Indonesia, buku ini patut dibaca.
Nilai menurut saya: 3,5/5

Yang Fana adalah Waktu (Sapardi Djoko Damono)



            Penutup trilogi novel Hujan Bulan Juni ini cukuplah sebagai pengobat rasa penasaran tentang karya yang diangkat dari puisi dan bahkan sudah difilmkan ini. Saya masih tetap beranggapan urutan karya ini dari yang terbaik adalah puisi, film, lantas novel. Bukan berarti novel ini jelek, namun saya merasa karya ini agak dipaksakan untuk menjadi novel. Kalau saya boleh berpikir nakal, bila saja Sapardi adalah penulis pemula, novel-novelnya tak akan disentuh penerbit karena terhalang jumlah halaman yang terlampau sedikit.
            Cerita yang berpusat pada romansa Sarwono dan Pingkan yang gaya pacarannya nyastra sekali, hingga teman saya yang dari jurusan eksak berkata kalau ia tak paham baik cerita maupun puisi-puisi di dalamnya, menjadi alur utama ketiga novel yang telah terbit ini. Saya menyukai romance, namun semakin banyak buku yang saya baca, saya mulai lebih tertarik pada romance yang disisipkan pada garis besar kisah lain. Saya mulai tidak menyukai karya-karya yang murni romance, layaknya buku ini.
            Sekali lagi, bukan berarti buku ini tidak bagus. Bagi pecinta cinta-cintaan, buku novel, puisi, apalagi filmnya (karena ada Pingkan-nya), karya ini sangat direkomendasikan. Apalagi kalau menikmatinya bersama pasangan, bagi yang punya, sih.
            Nilai menurut saya: 2/5

Buku Latihan Tidur (Joko Pinurbo)



            Buku kumpulan puisi yang cukup menggelitik. Berisi puisi-puisi ringan yang cocok untuk pengantar tidur, walau kalau dikaji bisa memakan waktu cukup lama. Ukurannya yang juga ringan sangat cocok untuk dibawa berpergian. Buku ini pernah saya bawa ke Telaga Dringo waktu saya sedang membuat sebuah video dan sensasinya pas sekali. Isinya? Kalau cuplikannya bisa kalian lihat di gambar, secara keseluruhan puisinya juga bertipe sama seperti itu, seakan ringan, namun menyentil.
            Nilai menurut saya: 4/5

Arah Langkah (Fiersa Besari)



            “Mas belum tahu Fiersa Besari,” tanya temanku yang berasal dari Makassar, “Masa’, sih?” Pertanyaan itu menggelitikku untuk membeli salah satu buku di tumpukan best seller Gramedia. Saya mengenal Fiersa sebagai youtuber pendaki gunung yang teknik pengambilan gambar, editing, dan narasinya bagus. Dari situ saya mulai mengenal juga beliau sebagai seorang pemusik dengan karya-karya pop easy listening dan lirik-lirik magis.
            Lalu bagaimana dengan tulisan atau novelnya? Untuk novel ini saya rasa cukup bagus karena gaya penceritaan sudut pandang orang pertamanya membuat kita menjadi dekat dengan cerita, seakan mengalami sendiri tiap kejadian di novel. Kekuatan novel ini adalah cerita tentang lokasi-lokasi baru, bagi penulis, ketika menyelesaikan misinya untuk menjelajah Indonesia, mulai dari Sumatera, Sulawesi, dan mungkin daerah-derah lainnya di sekuelnya.
            Saya sangat paham mengapa novel-novel beliau sekarang laris di pasaran. Bahasa yang mudah diikuti namun tetap berasa nyastra membuat karya beliau dapat dinikmati oleh orang awam, maksud saya bukan dengan background sastra, sekali pun. Namun, bagi saya pribadi, saya lebih suka pada video dan musik beliau.
            Nilai menurut saya: 3/5

Kembali (Saya Sendiri)



            Nah, akhirnya kalian paham mengapa saya membuat tulisan sepanjang ini. Dalam hati, kalian pasti berkata, “Ternyata promosi terselubung.” Tidak! Sama sekali tidak, tidak salah! Saya membaca ulang karya saya yang dipublikasikan lewat aplikasi wattpad ini karena saat saya iseng-iseng membuka akun saya setelah sekian lama, ternyata ada feedback lumayan positif, dalam arti ternyata karya saya ini ada yang membaca, memberi bintang, dan ada yang berkomentar (walau hanya sedikit, namun percayalah itu sangat berarti bagi penulis pemula seperti saya).
            Saya teringat perkataan seorang gitaris dari band Jepang yang saya lupa namanya, “Kalau mau menilai bagus tidaknya lagu yang kita buat, tinggalkan lagu itu sejenak, kalau lagu itu masih bagus setelah beberapa lama kau tinggalkan, itu berarti lagu itu memang bagus.” Nah, saya mencoba mengaplikasikannya pada novel yang sudah lama tidak saya buka akunnya ini. Ternyata saat saya baca ulang, saya berkata dalam hati, “Kok saya pernah menulis cerita sekompleks ini?”
            Bercerita tentang seorang penulis yang pulang ke kampung halamannya setelah sekian lama, namun ia malah disuguhi dengan kematian berruntun di desanya. Sebagai seorang penulis novel thriller, ia malah tertantang menguak cerita sebenarnya dari desa kelahirannya itu. Kalau kalian menikmati cerita berbau misteri, novel online ini saya rekomendasikan (ya iya, lah, saya penulisnya). Dapat kalian baca secara gratis di aplikasi wattpad, dengan nama akun kurniabayu92, namun kuotanya tetap kalian yang bayar.
            Nilai menurut saya: saya serahkan kepada kalian semua.

            Selain buku-buku di atas, ada juga yang sedang saya baca, atau bahkan saya tinggalkan karena saya lelah membacanya. Mungkin di kesempatan berikutnya saya akan menulis buku-buku yang tidak tamat saya baca, beserta alasannya mengapa saya sampai mutung. Lalu, kapan saya menulis lagi? Wallahualam.
 

Bayu's Secret Room © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates